SEKILAS PERKEMBANGAN ILMU HADITS

SEKILAS PERKEMBANGAN ILMU HADITS

Share This
SALAH satu khasanah ilmu warisan Islam yang cukup dinamis yaitu ilmu Musthalah Hadits. Hingga saat ini kajian tentang ilmu ini cukup intensif dan berkembang.
Meski istilah Musthalah Hadits baru dikenal pada abad 4 Hijriyah, namun konsep dasarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah.
Dalam surat al-Hujurat ayat 6, Allah memerintahkan agar umat Islam memeriksa dan meneliti sebuah berita dari orang munafik. Demikian juga Rasulullah SAW memberitahu bahwa Allah SWT mencerahkan wajah seseorang yang mendengar hadits lalu menyampaikan berita itu sebagaimana yang didengar dan mungkin saja orang yang menerima berita itu lebih faham dari orang yang mendengar (H.R Ibnu Majah).
Perkembangan Awal Ilmu Hadis
Dalam upaya melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, para sahabat telah menetapkan hal-hal yang menyangkut penyampaian suatu berita dan penerimaannya, terutama jika mereka meragukan kejujuran si pembawa berita.
Dalam pendahuluan kitab Shahih Muslim, dituturkan dari Ibnu Sirin, bahwa para sahabat pada awalnya tidak pernah menanyakan tentang isnad (periwayatan), namun setelah terjadi peristiwa fitnah, yaitu terbunuhnya Khalifah Utsman, mereka mempertanyakan siapa yang meriwayatkan hadits.
Namun ilmu ini mulai berkembang pesat pada awal abad ketiga Hijriyah. Hanya saja, perkembangannya masih berkutat pada upaya mengetahui mana periwayatan hadits yang bisa diterima dan ditolak.
Ulama yang pertama kali menghimpun ilmu riwayat ini yaitu Muhammad Ibnu Syihab Al-Zuhri  (W. 124 H), salah satu tabi'in junior yang banyak mendengar hadits dari para sahabat dan tabi'in senior.
Ketika itu Khalifah Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan Gubernur Madinah Abu Bakr bin Muhammad bin Amru bin Hazm (W. 117 H) menghimpun hadits-hadits Rasulullah agar bisa dipelajari oleh umat Islam. Sang gubernur kemudian menunjuk al-Zuhri untuk menghimpun dan membukukan hadits-hadits Rasulullah. Setelah itu banyak ulama yang melakukannya sepert ibnu Juraij (W. 150 H.), Ibnu Ishaq (W. 151 H), Imam Malik (W. 179 H.), Sufyan at Tsaury (W. 116 H), Imam al Auza'i (156 H) dan lainnya.
Pada masa ini para ulama menulis riwayat yang ada dalam hafalannya, baik dari Rasulullah maupun para sahabat. Mereka belum menentukan metodologi yang baku untuk memisahkan antara sabda Rasulullah dengan perkataan para sahabat.
Pada generasi berikutnya baru dimulai pemisahan antara hadits Rasulullah dari fatwa-fatwa sahabat, tabi'in, tabi'uttabi'in. Para ulama perintis di fase ini antara lain Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan lainnya.
Sebelumnya Imam Syafi'i telah memberikan sebuah landasan atau kriteria syarat seorang perawi bisa diterima periwayatannya. Hal ini ada dalam kitabnya al-Umm dan al-Risalah. Para ulama setelahnya kemudian mengambil metode tersebut dalam penerimaan dan penolakan perawi.
Setelah para ulama memiliki metodologi yang baku dalam menentukan siapa yang layak meriwayatkan hadits, kemudian bermuncullah berbagai kitab hadits yang berbentuk musnad dan kitab hadits berdasar urutan dalam ilmu fiqih. Kitab hadits musnad isinya tidak beraturan dan berurutan masalah demi masalah yang diketengahkan. Pasal yang diutamakan mengenai perawinya seperti pasal tentang Aisyah, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas dan seterusnya. Di antara yang terkenal adalah musnad Imam Syafi'i, musnad imam Ahmad dan lain sebagainya.
Selanjutnya, setelah berbagai kitab hadits ditulis oleh para ulama baik dalam bentuk musnad atau lainnya, generasi berikutnya berlomba menghafal hadits-hadits dengan sanadnya serta meneliti kesahihannya. Kitab-kitab yang terkenal pada fase ini, antara lain mu'jam Imam at Thabrani, Sunan Abi Daud, Sahih Abi Awanah, Sahih Ibnu Khuzaimah. Ini terjadi pada abad IV Hijriyah.
Selanjutnya pada abad ke V H, para ulama hadits banyak menulis kitab-kitab hadits tematik dan meringkas kitab-kitab hadits yang telah disusun ulama terdahulu, seperti;  Sunan al-Kubra al Baihaqi, Muntaq al Akhbar al Harani, Nailul Authar as-Syaukani. Dan di abad 20 pakar hadits yang dikenal antara lain Prof. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki. Di abad ini juga muncul kitab yang menjawab syubhat-syubhat dari orientalis Barat tentang hadits yaitu Syekh Mustofa al-Siba'i.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages