(Buletin Media Aswaja) Sering kali beredar
pertanyaan-pertanyaan menjebak seperti ini, ‘Anda ikut Madzhab atau ikut
al-Qur’an dan al-Sunnah”’. “Lebih baik ikut al-Qur’an dan Sunnah daripada ikut
madzhab”. “Madzhab saya adalah madzhab Nabi”. Atau pertanyaan yang
mempertentang antara Nabi dan Ulama, ‘Pilih ikut Ulama atau ikut Rasulullah
Saw”?
Ada pula pendapat berbunyi ‘lebih baik ikut Nabi
saw daripada ikut ulama’ mujtahid. Sepintas memang benar. Tetapi jika dalam
konteks ittiba’ (mengikuti) ulama madzhab, maka dipastikan statemen itu ada
‘kecacatan’.
Di zaman ini, cukup banyak umat Islam
yang lemah dalam kemampuan menggali hukum syariat dari al-Quran dan Hadis.
Bahkan sama sekali awam terhadap al Quran dan Hadis.
Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya seperti
Fisika, Kedokteran, Psikologi, Ekonomi dan lain-lain yang memiliki pakar-pakar
untuk dijadikan referensi dalam studi. Dalam Islam, juga terdapat ulama yang
memiliki kemampuan menggal hukum dari dua sumber (al Quran dan hadis) untuk
menjadi rujukan dalam persoalan hukum. Prinsip ini bertumpu pada firman Allah
SWT: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai kemampuan, jika kamu
semua tidak mengetahuinya” (QS. An-Nahl: 43).
Mengikuti ulama yang memiliki otoritas dengan
segala aspek metodologi dan produk-produk hukumnya dinamakan bermadzhab.
Madzhab merupakan hasil penelitian mendalam para ulama untuk mengetahui hukum
yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis serta dalil-dalil yang lainnya. Karena
itu, bermadzhab bukan berarti menepikan al-Qur’an dan
Hadis, sebab para ulama Mujtahid meneliti hukum berasaskan pada al-Qur’an dan
Hadis.
Semua hasil ijtihad keempat mazdhab fiqih yang
populer di dalam Islam semuanya sumber kepada al-Qur’an dan Hadis. Artinya
dengan bermazdhab kita sedang kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis dengan cara
dan manhaj yang benar, yaitu mengikuti ulama yang dikenal keluasan ilmu
otoritas bidang hukum Islam. Jika setiap orang kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah secara langsung, tanpa bertanya kepada pakarnya, apa yang akan terjadi?
Yang terjadi adalah setiap orang, termasuk orang awam, akan menafsirkan
al-Qur’an dan Sunnah menurut akal sendiri, jalan pikiranya sendiri, tentu ini
akan sangat berbahaya. Sehingga berpotensi mengikuti metode liberal.
Madzhab dalam Islam muncul karena pada
persoalan-persoalan tertentu tidak ditemukan dalil yang qath’i. Jika saja ada
dalil qath’i semua niscaya tiada madzhab. Mengikuti ulama Mujtahid merupakan
sesuatu yang lumrah. Sebagaimana halnya kita bertaklid dengan dokter, sopir,
pilot dan lain-lain.
Seorang
Muslim awam tidak mungkin mampu meng-istinbath hukum sendiri. Imam al-Zarkasyi
dalam al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqih IV hal. 488 mengatakan, seorang bisa
mencapai level mujtahid jika telah memenuhi delapan syarat keilmuan:
Pertama, memiliki pemahaman atas ayat-ayat hukum
dalam al-Qur’an secara etimologis dan epistemologis. Kedua, mengetahui
hadis-hadis tentang hukum, secara epistemologis maupun epistemologis
sebagaimana dalam penalaran ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Ketiga, mengetahui
objek ijma’ mujtahid generasi terdahulu, sehingga seorang mujtahid tidak
mencetuskan suatu hukum yang menyalahi garis consensus pendahulunya. Keempat,
mengetahui tata cara qiyas, syarat-syarat penerapannya, illat hukum serta
metode penggaliannya. Kelima, memiliki pengetahuan tata cara penalaran dengan
megetahui syarat-syarat penerapan berbagai bentuk argumentasi, pendefinisian,
metode, dan penyimpulan. Keenam, memiliki cakrawala luas dalam penguasan bahasa
Arab dari sisi gramatika, gaya bahasa dan lain-lain. Ketujuh, mengetahui nasikh
dan mansukh. Kedelapan, mengetahui kepribadian paraperiwayat, sehingga dapat memastikan
status periwayatannya, kuat atau lemah, shahih atau tidak shahih diterima atau
ditolak.
Bahkan Imam al-Syaukani menambahkan,
bahwa tidak cukup seorang calon mujtahid hanya mengetahui
permasalahan-permasalah ushul fikih dari pendapat para imam Mujtahid. Namun ia
harus mampu menemukan dan merumuskan sendiri kaidah-kaidah ushul fikih
madzhabnya. Dan memposisikan dirisinya secara seimbang dalam menilai dan
menimbang kebenaran teori ushul fikihnya (Wahbah Zuhaily,Ushul Fiqh fi
al-Islam II hal. 1046). Syarat-syarat tersebut dibuat demi menjaga keilmuan
Islam agar tetap pada koridornya. Dan persyaratan tersebut berdasarkan
pengalaman para Imam Mujtahid dalam meneliti hukum.
Madzhab itu bersumberkan dari al-Qur’an
dan al-Sunnah. Ulama mujtahid, sudah tentu tidak meninggalkan sunnah Nabi. Jika
membuang sunnah, sudah pasti tidak akan disebut ulama.
Kalimat “Mengapa kita tidak langsung kembali
kepada Al-Qur’an dan Sunnah saja?” seakan-akan menghakimi bahwa ulama madzhab
itu tidak kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Penggunaan
kalimat “Mengapa kita tidak kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah saja?” tersebut
telah menyebabkan sebagian orang memandang remeh ijtihad dan keilmuan para
ulama, terutama ulama terdahulu yang sangat dikenal kesalehan dan keluasan
ilmunya.
Memang benar umat Islam harus mengikuti
Nabi Saw, melalui hadis-hadisnya. Akan tetapi sebuah hadis boleh diamalkan
setelah dipahami maksud dan hukum yang dikandungnya. Sebuah hadis tidak cukup
diketahui status keabsahannya saja.
Jika ditemukan sebuah hadis shahih,
tidak bisa langsung dipakai. Bahkan, hadis shahih ada yang tidak diamalkan
ulama (didiamkan). Sebabnya banyak. Misalnya diketahui hadis shahih itu telah
dimansukh, makna masih dzanni sehingga menimbulkan penafsiran yang tidak
tunggal.
Dalam hal ini seorang murid imam Malik, Ibnu
Wahab, berkata: Kalau saja saya tidak
bertemu dengan Imam Malik dan al-Laits
bin Saad, maka celakalah saya.Dahulu saya menyangka segala sesuatu yang datang
dari Nabi itu pasti harus diamalkan. (Tarikh Dimasyq, h. 50/ 359).
Dalam benak Ibnu Wahab, ia selamat dari
kesesaatan karena mengikut Imam Malik. Bagaimana jika ia tidak ikut siapa-siapa,
tapi langsung ‘mengamalkan’ semua hadis yang ia dapatkan?
Kembali itu ada jalan dan metodenya.
Jika tidak tahu jalan dan cara, kita tersesat. Seperti kita mau kembali pulang
ke kota Jakarta, ada jalan dan kendaraanya. Jika tidak tahu, maka bisa tersesat
ke Banten. Ketika tidak tahu jalan, apakah bisa kembali sendirian tanpa
dituntun?
Jika setiap orang langsung merujuk
kepada al-Qur’an dan al-Sunnah dalam setiap masalah,apa yang akan terjadi?
Maka, setiap orang akan menafsirkan al-Qur’an dan al-Sunnah menurut pikirannya
sendiri. Ini akan merusak agama. Jika Anda awam, ikutlah madzhab, niscaya agama
Anda akan selamat. [kh]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar