KERAKUSAN ADALAH BIBIT KEHINAAN

KERAKUSAN ADALAH BIBIT KEHINAAN

Share This

 


   Tidak berkembang biak cabang kehinaan kecuali di atas bibit kerakusan      

          Dalam kata hikmah ini, Ibnu Athaillah menerangkan bahwa sifat tamak (rakus) adalah bahaya yang paling besar pada jiwa manusia dan kejelekan yang dapat merusak ubudiyahnya manusia. Bahkan tamak merupakan sumber dari segala bahaya atau penyakit hati. Sebab tamak itu murni hanya bersandar dan bergantung kepada manusia serta terlalu mengandalkan manusia. Maka hina seseorang yang melakukan ketamakan,  karena tidak ada kehinaan seperti tamak.

         Allah tidak menghalalkan Orang mukmin untuk merendahkan dirinya dihadapan makhluq, sebab, orang mukmin itu dimuliakan oleh Allah. Hakekat keimanan itu berlawanan dengan ketamakan, karena keimanan itu adalah bukti kemuliaan, kemuliaan yang diterima oleh orang beriman adalah hanya mengandalkan, butuh dan mengharap kepada Allah dan orang yang beriman itu keinginannya hanya kepada Allah, ketentramannya juga hanya dengan Allah, tidak dengan yang lain. Maka orang mukmin adalah orang yang mulia. Tidak pantas ia menjadi rakus karena orang yang rakus itu hina. 

          Karena kemulian itu telah diberikan oleh Allah kepada setiap orang yang beriman seperti dalam firman-Nya:

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْ مِنِيْنَ

Kemuliaan itu hanya milik Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Munafiqun: 8)

          Sebagaimana kemuliaan itu adalah sifat orang-orang yang beriman, kehinaan adalah sifat orang kafir dan orang minafiq. Allah berfirman:

إٍنَّ الَّذِيْنَ يُحَادُّوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ اُوْلَئِكَ فِيْ الْأَذَلِّيْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya mereka termasuk orang-orang yang hina.” (QS. Al-Mujadalah: 20)

          Abu-Bakar Al-Warraq Al-Hakim radiyallahu anhu berkata:

          Andaikan kerakusan (tamak) itu ditanya, wahai tamak siapa ayahmu? Maka ia menjawab, “ragu pada takdir”         

          Kemudian bila ia ditanya, apa kerjamu? Ia menjawab, “mencari kehinaan”.

          Dan bila ditanya, tujuanmu apa? Maka ia menjawab, “tidak mendapat apa-apa”.

          Jadi, orang yang rakus timbulnya dari keraguaan pada takdir. Kerjanya hanya mencari kehinaan. Ia mengikuti hawa nafsunya dan mengejarnya dunia sehingga ia hina di hadapan orang-orang yang beriman dan di hadapan Allah. Namun pada akhirnya ia tidak mendapatkan apa-apa. Yang di dapat hanyalah kerendahan dan kehinaan.

          Maka kita harus bersifat seperti sifat orang yang beriman yaitu mulia, bagaimana sifat mulia itu, tidak berharap dan tidak butuh kepada seseorang melainkan hanya butuh dan berharap kepada Allah. (Santri Darul Ihya')


 Wallahu a'lam bi Asshawab.

Mudah-mudahan bermanfaat.  https://t.me/darulihya

                                                    https://wa.me/c/6283141552774

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages