“Tidak berkembang biak cabang kehinaan
kecuali di atas bibit kerakusan”
Dalam kata hikmah ini, Ibnu Athaillah
menerangkan bahwa sifat tamak (rakus) adalah bahaya yang paling besar pada jiwa
manusia dan kejelekan yang dapat merusak ubudiyahnya manusia. Bahkan tamak
merupakan sumber dari segala bahaya atau penyakit hati. Sebab tamak itu murni
hanya bersandar dan bergantung kepada manusia serta terlalu mengandalkan
manusia. Maka hina seseorang yang melakukan ketamakan, karena tidak ada kehinaan seperti tamak.
Allah tidak menghalalkan Orang mukmin untuk
merendahkan dirinya dihadapan makhluq, sebab, orang mukmin itu dimuliakan oleh
Allah. Hakekat keimanan itu berlawanan dengan ketamakan, karena keimanan itu
adalah bukti kemuliaan, kemuliaan yang diterima oleh orang beriman adalah hanya
mengandalkan, butuh dan mengharap kepada Allah dan orang yang beriman itu
keinginannya hanya kepada Allah, ketentramannya juga hanya dengan Allah, tidak
dengan yang lain. Maka orang mukmin adalah orang yang mulia. Tidak pantas ia
menjadi rakus karena orang yang rakus itu hina.
Karena kemulian itu telah diberikan oleh Allah kepada setiap orang yang
beriman seperti dalam firman-Nya:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْ مِنِيْنَ
“Kemuliaan itu hanya milik Allah dan Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Munafiqun: 8)
Sebagaimana
kemuliaan itu adalah sifat orang-orang yang beriman, kehinaan adalah sifat
orang kafir dan orang minafiq. Allah berfirman:
إٍنَّ الَّذِيْنَ يُحَادُّوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ اُوْلَئِكَ فِيْ الْأَذَلِّيْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya mereka termasuk orang-orang yang hina.” (QS. Al-Mujadalah:
20)
Abu-Bakar Al-Warraq Al-Hakim radiyallahu anhu berkata:
Andaikan
kerakusan (tamak) itu ditanya, wahai tamak siapa ayahmu? Maka ia menjawab, “ragu
pada takdir”
Kemudian
bila ia ditanya, apa kerjamu? Ia menjawab, “mencari kehinaan”.
Dan bila
ditanya, tujuanmu apa? Maka ia menjawab, “tidak mendapat apa-apa”.
Jadi,
orang yang rakus timbulnya dari keraguaan pada takdir. Kerjanya hanya mencari
kehinaan. Ia mengikuti hawa nafsunya dan mengejarnya dunia sehingga ia hina di
hadapan orang-orang yang beriman dan di hadapan Allah. Namun pada akhirnya ia
tidak mendapatkan apa-apa. Yang di dapat hanyalah kerendahan dan kehinaan.
Maka
kita harus bersifat seperti sifat orang yang beriman yaitu mulia, bagaimana
sifat mulia itu, tidak berharap dan tidak butuh kepada seseorang melainkan
hanya butuh dan berharap kepada Allah. (Santri Darul Ihya')
Wallahu a'lam bi Asshawab.
Mudah-mudahan bermanfaat. https://t.me/darulihya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar