“Apabila Allah memberimu rizki berupa ketaatan dan Allah juga memberimu merasa cukup dengan Allah tanpa mengandalkan ibadah / ketaatan, maka ketahuilah bahwasannya Allah telah menyempurnakan bagimu nikmat-Nya yang dzohir maupun yang batin.”
Syekh Ibn Athoillah As-Sakandari
menjelaskan bahwasannya ketaatan itu suatu bentuk rezeki. Rezeki itu tidak
hanya yang berbentuk materi. Banyak diantara kita yang menyangka bahwa rizki
itu yang nampak dihadapan kita seperti uang atau benda lainnya. Tapi sebenarnya
rezeki itu bermacam-macam seperti kenikmatan, hati yang tenang, anak yang
sholeh, istri yang taat pada suami, pikiran yang tenang itu semua termasuk
rezeki yang diberi oleh Allah Ta’ala. Terkadang Allah mengabulkan do’a kita itu
tidak sesuai dengan apa yang kita minta, karena Allah tahu apa yang lebih kita
butuhkan, kadang pemberian Allah itu tidak bisa diprediksi.
Bisa jadi uang sedkit, pemasukan
sedikit, harta benda tidak banyak, tapi anaknya sholeh, istrinya nurut, tidak
suka minta apa-apa, berbakti sam suami. Ini termasuk rizki dari Allah, walaupun
hartanya sedikit tapi hidupnya tenang, nyaman dan tidak ada keributan di
keluarga.
Kebahagiaan itu bukan dari materi
atau uang tapi kebahagiaan itu dari ketenangan hati, anak dan istri yang
berbakti.
Orang kaya itu kekayaannya nampak,
terlihat oleh mata tapi kalau orang yang mempunyai ilmu itu kekayaannya tidak
nampak karena kekayaannya dari segi yang lain bahkan orang yang mempunyai ilmu
itu lebih kaya dari pada orang kaya harta. Karena ilmu itu tidak bisa
digantikan oleh apapun bahkan dunia dan seisinya tidak bisa menggantikannya,
makanya ilmu itu lebih mahal dan berharga.
Seperti sebuah cerita, ada seorang
tahfidz (orang yang hafal Al-Qur’an) yang bingung karena dia tidak punya
pekerjaan, tidak punya penghasilan sehingga dia tidak punya uang. Kemudian dia
pun ingin bekerja dan berusaha harus berubah sambil dia memikirkan caranya dan
dia pun tertidur, dia bermimpi bertemu malaikat yang membawa sekarung uang
dirham dan malaikat itu bertanya kepada seorang tahfidz itu “Apakah engkau mau
uang ini tapi hafalan surat Lukman, surat Muhammad, surat Al Imron saya ambil,
sehingga engkau lupa?”, Orang itu menjawab “Saya tidak mau”. Malaikat itu
bertanya lagi “Saya tambah lagi uangnya tapi hafalan 15 juz mu saya ambil?”
Orang itu menjawab lagi “Tidak, saya tidak mau, jangan sekarung diganti dengan
satu milyar pun saya tidak mau”. Kemudia malaikat itu berkata “Kalau begitu
kenapa kamu sedih, kamu susah, kamu sekarang ini sedang megang Al-Qur’an yang
harganya enggak bisa dibayar dengan satu milyar, buktinya kamu enggak mau
diganti dengan uang. Kenapa kamu susah kerana kamu punya Al-Qur’an, punya ilmu
yang harganya itu tidak bisa dinilai dengan satu milyar.” Ini adalah contoh
bentuk kekayaan yang tidak terlihat.
Yang dituntut dari seorang hamba
Allah adalah dua hal. Pertama, menegakkan perintah-Nya secara nyata. Kedua,
bergantung kepada Allah di batinnya. Artinya, walaupun ia banyak melakukan
ketaatan, tetapi ia bersandar pada amalnya itu. Ia tidak membutuhkan amal
tersebut. Ia merasa kaya dengan Allah saja, tujuannya hanyalah ridho Allah.
Apabila seorang hamba diberi rezeki
dua hal di atas, maka berarti Allah telah melimpahkan kenikmatan yang lengkap
kepadanya, kenikmatan lahir batin. Allah akan menyampaikan cita-cita orang
tersebut di dunia dan akhirat.
Dua hal itu dijadikan prinsip
Thariqah Alawiyah, sebuah tarekat yang banyak dianut oleh kalangan Ba’Alawi.
Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthos, seorang tokoh besar Ba’Alawi, menerangkan
tentang Thariqah Alawiyah kepada seorang yang bertanya kepadanya “Apakah
Thariqah Alawiyah itu?”
Beliau menjawab:
ظَاهِرُهَا غَزَالِيَّة وَبَاطِنُهَا شَاذِلِيَّة
“Lahirnya (dzohirnya/luarnya) Ghozali, dan
batinnya Syadzili.”
Artinya, dalam beramal dzohir mengikuti tuntunan Imam Ghozali dalam
kitabnya ‘Ihya Ulumiddin’. Namun batinnya ala Imam Syadzili, dalam arti tidak
bersandar pada amal. (A.Mthr)
Wallahu a'lam bi Asshawab.
Mudah-mudahan bermanfaat. https://t.me/darulihya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar