RAHASIA REZEKI ANTARA USAHA DAN KEYAKINAN ABSOLUT

RAHASIA REZEKI ANTARA USAHA DAN KEYAKINAN ABSOLUT

Share This

 



Ulasan Pengajian Syarah Al-Hikam
Hari/ Tanggal : Jum'at, tanggal 14 Dzul Hijjah 1445 H - 28 Juni 2024 M
Oleh  : Al Habib Abdul Qodir bin Abuya Ahmad bin Husein Assegaf


َلاَ تَمُدَنَّ إِلَى الأَخْذِ مِنَ الخَلَائِقِ إِلاَّ أَنْ تَرَى أَنَّ المُعْطِيَ فِيْهِمْ مَوْلَاكَ فَإِنْ كُنْت كَذَلِكَ فَخُذْ مَا وَافَقَكَ العِلْمُ


Janganlah engkau mengulurkan tangan untuk menerima pemberian makhluk, kecuali engkau merasa bahwa yang memberi adalah Allah. Kalau engkau sudah demikian, maka terimalah dari mereka yang sesuai dengan ilmu pengetahuanmu.


     Rezeki manusia itu terbagi menjadi dua macam. 

          Pertama, orang yang menerima rezeki melalui usaha dan bekerja. Mereka adalah golongan ahlul asbab (mendapatkan rezeki dengan bekerja). Hal ini memiliki aturan-aturan tertentu dan tidak boleh sembarangan dalam melakukannya, terutama dalam urusan muamalat. Jika ada seseorang yang memulai pekerjaannya tanpa mengetahui apakah hal tersebut halal atau haram, maka ia melakukan dua dosa kepada Allah karena dia tidak mau mengetahui dan tidak mau menjaga diri. Berbeda dengan orang yang masih mau belajar, seperti halnya seseorang yang mengetahui mana yang halal dan yang haram, tetapi ia tetap melanggar. Maka ia hanya melakukan satu dosa kepada Allah karena dia tidak mau mengamalkan ilmunya.

Disebutkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin: "Orang yang sudah dewasa (balig) tidak boleh melakukan sesuatu tanpa mengetahui hukum Allah terkait hal tersebut." Jika ingin dalam urusan jual beli, maka ia harus mengetahui syariat jual beli. Ini memang adabnya.

Seseorang yang sudah dalam posisi ahlul asbab (mendapatkan rezeki dengan bekerja) tidak boleh berpindah profesi hanya untuk berdiam di rumah, membaca wirid, membaca zikir, atau berharap rezeki akan datang sendiri. Hal ini tidak sopan kepada Allah. Apa yang sudah Allah tetapkan kepadamu adalah yang terbaik, dan bekerja bukanlah sesuatu yang tercela. Banyak sahabat, wali, dan orang saleh yang bekerja di pasar.

Maka bersyukurlah atas apa yang telah ditentukan oleh Allah, karena ini adalah jalan yang terbaik dan jalankan syariat-syariat di dalamnya. Pertama, dalam bekerja, syariat harus tetap dijalankan. Kedua, jangan sampai terbersit di hati keinginan untuk menjadi ahlut tajrid atau ingin menjadi orang yang tidak bekerja.


          Kedua, orang yang menerima rezeki tanpa usaha dan bekerja. Mereka adalah golongan ahlut tajrid (mendapatkan rezeki tanpa pekerjaan tertentu). Akan tetapi, mereka sibuk beribadah sehingga Allah mencukupi semua kebutuhannya. Namun, ini tidak bisa dijadikan sebagai bahan percobaan atau dibuat-buat. Hal ini juga memiliki aturan-aturan tertentu. Di antaranya adalah tidak boleh merasa pemberian tersebut datangnya dari makhluk, tetapi harus meyakini bahwa pemberian itu dari Allah. Memang orang ahlut tajrid dituntut untuk memurnikan tauhid sehingga di hatinya tidak ada keraguan tentang datangnya rezeki dan tidak berharap kepada manusia.

Jika ada orang yang tidak bekerja dan tidak punya keyakinan bahwa rezeki datang dari Allah, maka ia akan mengalami kesengsaraan. Kemudian, ia akan melakukan apa pun agar orang-orang menyukainya dan memberinya sesuatu. Karena orang tersebut sangat menginginkan pemberian manusia, dikhawatirkan ia akan memuji orang zalim, ahli bid'ah, dan lainnya demi mendapatkan pemberian. Akhirnya, hidupnya dipenuhi kepura-puraan. Ini semua dilakukan karena ia masih ragu tentang rezeki.

Sebab itu, jika ia memutuskan tidak bekerja dan memilih untuk menjadi ahlut tajrid, padahal hatinya tidak mampu meyakini bahwa rezeki datang dari Allah dan tidak bisa menahan diri dari mengharap kepada manusia, maka ia jatuh dalam dosa besar seperti perbuatan mudahanah (menjual agama demi kepentingan pribadi).


          Syaqiq Al-Balkhi pernah diundang seseorang. Ia datang bersama lima puluh muridnya. Tuan rumah menghidangkan kepada mereka makanan yang banyak. Ketika mereka sudah duduk, Syaqiq berkata kepada mereka:

"Orang yang mengundang kita ini mengatakan, 'Barang siapa yang tidak menganggap bahwa aku yang membuat dan menyuguhkan makanan ini kepadanya, maka makananku ini haram untuk orang itu.'"

Dengan serempak mereka berdiri dan keluar. Hanya tinggal seorang pemuda yang tetap makan. Tuan rumahnya menanyakan kepada Syaqiq, "Apa tujuanmu seperti itu?" Syaqiq menjawab, "Aku ingin menguji tauhid murid-muridku," artinya, semua murid yang pergi tadi tidak merasa bahwa yang membuat dan menyuguhkan makanan itu adalah tuan rumah, tetapi mereka merasa bahwa pemberian tersebut dari Allah semata.


          Disyaratkan harus meyakini pemberian itu dari Allah karena itulah keadaan yang cocok bagi ahlut tajrid. Dan ahlut tajrid adalah suatu kedudukan yang mulia. Maka, tidak bisa didapatkan dengan coba-coba atau dengan memilih. Jika melakukan hal tersebut, maka ia mengikuti hawa nafsunya.


          Kesimpulannya, baik ahlul asbab maupun ahlut tajrid adalah kedudukan yang mulia dari Allah dengan adab dan tata cara masing-masing. Kedua cara ini menunjukkan betapa pentingnya memahami dan mengikuti aturan syariat dalam mencari dan menerima rezeki.


Wallahu a'lam bi Asshawab.

Mudah-mudahan bermanfaat.  https://t.me/darulihya

                                                    https://wa.me/c/6283141552774

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages