Ulasan Pengajian kitab Ihya' Ulumiddin
Uzlah berarti menjauhkan diri dari manusia. Ada yang berpendapat bahwa uzlah dibutuhkan di zaman yang penuh dengan maksiat dan fitnah. Namun, ada juga yang berpendapat lebih baik Mukholatoh atau berbaur dengan manusia, karena banyak manfaatnya, seperti tolong-menolong dan mengambil pelajaran. Di sini terdapat dua kelompok pandangan: pertama, kelompok yang menyatakan bahwa uzlah lebih utama (afdhal), dan kedua, kelompok yang menyatakan bahwa mukholatoh (berbaur dengan manusia) lebih utama.
Kelompok yang mendukung pergaulan dengan manusia mengajukan beberapa dalil sebagai argumen. Salah satu dalil yang mereka bawa adalah:
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا
"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih."
Dalil ini menekankan bahwa Allah melarang umat Islam untuk meniru umat terdahulu yang berpecah belah dalam urusan agama dan meninggalkan amar ma’ruf (mengajak kepada kebaikan). Agama sudah jelas, tetapi mereka tetap mencari perpecahan. Yang dimaksud di sini adalah ajaran agama satu, namun ada orang yang sengaja menimbulkan perpecahan. Oleh sebab itu, kita dianjurkan untuk bersatu dan tidak melakukan uzlah. Mereka juga mengutip ayat:
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
"Dan Dia mempersatukan hati-hati kalian."
Dalam konteks ini, Imam Ghazali menyatakan bahwa dalil-dalil ini lemah dan tidak relevan untuk membahas uzlah. Menurut beliau, yang dimaksud dalam dalil-dalil tersebut adalah perbedaan pendapat soal usul agama (dasar-dasar agama) dan bukan soal menjauh atau menyendiri. Yang ditegaskan dalam ayat-ayat ini adalah perbedaan pemahaman tentang pokok agama, bukan mengenai tempat tinggal atau menyendiri. Jadi, selama pemikiran dan keyakinannya sama dengan kaum Muslimin, meskipun seseorang hidup terpisah, itu tidak menjadi masalah.
Pernyataan ini dianggap lemah karena hadis tersebut tidak merujuk pada seseorang yang berakhlak baik tetapi memilih untuk tidak bergaul. Orang yang berakhlak baik, jika ia bergaul, ia akan disenangi dan mudah bergaul dengan orang lain. Namun, ada orang yang meninggalkan pergaulan bukan karena akhlaknya buruk, melainkan karena ia sibuk dengan dirinya sendiri atau ingin menjaga dirinya dari masalah yang mungkin muncul dari bergaul dengan orang lain. Dan hadis ini lebih condong untuk mencela orang yang akhlaknya buruk. Orang yang berakhlak buruk menyebabkan dirinya tidak bisa bergaul dengan baik dan juga tidak disenangi oleh orang lain, karena sifat dan perilakunya yang buruk. Jadi, hadis ini dianggap tidak mencakup orang yang berakhlak baik tetapi menjauhkan diri dari pergaulan demi keselamatan atau untuk fokus pada hal-hal yang lebih penting bagi dirinya.
Meskipun demikian, menjauhi seseorang lebih dari tiga hari diperbolehkan dalam dua keadaan:
1. Jika dianggap dapat memperbaiki keadaan orang yang dijauhi.
2. Jika dianggap untuk keselamatan diri sendiri.
Diceritakan kepada Muhammad bin Umar Al-Waqidi bahwa seorang pria menjauhi orang lain hingga meninggal dunia. Maka dia berkata: ‘Ini adalah sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya. Contohnya, ada kelompok dari Sahabat seperti Sa'ad bin Abi Waqqas yang pernah menjauhi Ammar bin Yasir hingga meninggal dunia, Usman bin Affan yang menjauhi Abdul Rahman bin Auf, dan Aisyah yang menjauhi Hafshah. Begitu pula, Ta'wus yang pernah menjauhi Wahb bin Munabbih hingga mereka berdua meninggal dunia.' Semua kasus ini menunjukkan bahwa mereka melakukan uzlah karena mereka merasa itu adalah cara terbaik untuk menjaga keselamatan diri mereka.
Pada akhirnya, keputusan tentang memilih uzlah atau mukholatoh harus didasarkan pada situasi dan niat individu. Jika seseorang memilih untuk mengasingkan diri demi menjaga kebaikan dan fokus pada tujuan spiritual, itu sah selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama. Sebaliknya, bergaul dengan manusia juga memiliki manfaat yang tak bisa diabaikan, seperti mempererat hubungan dan menyebarkan kebaikan. Yang penting adalah menjaga keseimbangan dan memastikan bahwa keputusan kita selaras dengan ajaran Islam dan kebutuhan pribadi.
Wallahu a'lam bi Asshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar