DEKAT DENGAN ALLAH

DEKAT DENGAN ALLAH

Share This



Ulasan Pengajian Syarah Al-Hikam
Hari/ Tanggal : Jum'at, tanggal 25 Jumadil Akhir 1446 H - 27 Desember 2024 M
Oleh  : Al Habib Abdul Qodir bin Abuya Ahmad bin Husein Assegaf


قُرْبُكَ مِنْهُ أَنْ تَكُونَ مُشَاهِدًا لِقُرْبِهِ، وَإِلَّا فَمِنْ أَيْنَ أَنْتَ وَوُجُودُ قُرْبِهِ


Dekatnya engkau dengan Allah yaitu ketika kau melihat Allah dekat denganmu, jika tidak demikian, maka dari manakah engkau dengan dekatnya Allah.


          Dekat yang sebenarnya itu dekatnya Allah kepadamu, sebagaimana Allah berfirman:


وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ


Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat.

(Al-Baqarah. 186)


وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ وَلَٰكِن لَّا تُبْصِرُونَ


Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat. (Al-Waqi'ah. 85)


وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ


 Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Qaf. 16)


          Syekh Ibn Atthoillah menjelaskan bahwa kita tidak perlu mempertanyakan di mana Allah berada atau bagaimana kita dapat mendekat kepada-Nya. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kita tidak seharusnya menganggap bahwa kedekatan dengan Allah itu sama seperti kedekatan dengan makhluk, yang memiliki jarak dan tempat. Kedekatan dengan Allah itu adalah sebuah keyakinan yang merupakan hakikat dari hubungan kita dengan-Nya.


          Dalam salah satu hikmah yang dijelaskan saat ini, Allah begitu dekat dengan kita. Dengan keyakinan ini, kita akan merasakan manfaat yang besar: merasa diawasi oleh Allah, merasa tunduk kepada-Nya, dan menjaga adab dalam setiap gerak dan kata karena merasa dekat dengan-Nya.


          Maka tidak heran jika sebagian wali tidak pernah mengangkat kepalanya selama hidupnya karena mereka merasa diawasi oleh Allah dan merasa kedekatan-Nya. Ada juga sebagian dari mereka yang tidak berani menjulurkan kakinya ke arah kiblat, meskipun hal itu tidak diharamkan, namun itu adalah bagian dari adab.


          Selanjutnya, Syekh Ibn Atthoillah menyampaikan:


.(الْحَقَائِقُ تَزِدُّ فِيهِ حَالَ التَّجَلِّي مُجْمَلَةً وَبَعْدَ الْوَعْيِ يَكُونُ الْبَيَانُ (فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ, ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ


Hakikat ilmu itu datang ketika tajalli (penyingkapan) secara singkat, dan setelah ditangkap, barulah terjadi penjelasan. "Apabila kami membaca Al-Qur'an, maka ikutilah bacaannya, kemudian sesungguhnya kamilah yang memberikan penjelasan."


          Dijelaskan bahwa ilmu itu terbagi menjadi dua macam: ilmu kasbi dan ilmu wahbi. Ilmu kasbi adalah ilmu yang didapat melalui usaha (belajar). Seseorang memperoleh ilmu setelah melakukan usaha, dan perantara dari usaha tersebut adalah seorang guru. Semua ini saling berkaitan. Sebagai contoh, seseorang yang semangat belajar tetapi tidak memiliki guru bisa tersesat dalam pemahamannya.


          Contohnya adalah peristiwa yang terjadi pada Luqman Al-Hakim. Ia pernah membaca sebuah hadis, namun karena salah dalam memahami teks tersebut, ia keliru dalam membaca. Teks yang benar adalah: الحَبَّةُ السَّوْدَاءُ دَوَاءٌ لِكُلِّ دَاءٍ, yang artinya habbatus sauda' adalah obat untuk segala penyakit. Namun, karena kesalahan dalam membaca, ia membaca الحَيَّةُ السَّوْدَاءُ دَوَاءٌ لِكُلِّ دَاءٍ, yang berarti ular hitam adalah obat untuk segala penyakit. Entah karena ada kesalahan penulisan atau titik yang bertambah dalam kitab tersebut, ia kemudian mempraktikkan apa yang dibacanya dengan mencari ular hitam, memotongnya, merebusnya, dan mengonsumsinya. Tak lama setelah itu, Luqman Al-Hakim meninggal dunia karena keracunan.


          Adapun ilmu wahbi, yaitu ilmu yang diberikan tanpa usaha dan tanpa perantara (ilmu ladunni), diperoleh ketika hati seseorang telah bersih dari kotoran hawa nafsu dan kecintaan terhadap dunia. Ilmu ini bisa berupa pengetahuan, hikmah, atau wawasan yang datang langsung dari Allah. Salah satu contoh pengalaman ini adalah yang dialami oleh Habib Ahmad bin Hasan Al-Attos, di mana Allah mengganti matanya dengan mata batin yang tajam. Beliau pernah pergi ke sebuah gua, di mana beliau melihat sekelompok orang yang sedang mencari harta karun. Di sana, beliau juga melihat makhluk yang tertawa sebab kerakusan mereka dalam mencari harta. Maka Habib Ahmad mencoba untuk berkomunikasi dengan makhluk itu menggunakan berbagai bahasa (70 bahasa), termasuk bahasa Arab, Inggris, dan banyak lagi, namun makhluk tersebut tidak memahami semua bahasa yang Habib Ahmad gunakan. Ternyata, makhluk itu adalah bangsa jin, dan akhirnya mereka ditinggalkan oleh beliau.


          Kisah ini menggambarkan bahwa seorang wali tidak hanya memiliki ilmu agama, tetapi juga wawasan yang melampaui batas-batas pengetahuan biasa. Bahkan, seorang wali sering kali mengetahui sesuatu yang akan terjadi. Pendapat ini sejalan dengan hadis yang mengatakan:


اتَّقُوا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُورِ اللَّهِ

"Hati-hatilah terhadap pandangan orang beriman, karena dia melihat dengan cahaya Allah."

(HR. al-Tirmidzi)


          Ilmu dan wawasan yang diberikan kepada seorang wali tidak muncul setiap saat, melainkan pada waktu-waktu tertentu. Namun, perlu diingat bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang mudah. Semakin tinggi derajat spiritual seseorang, semakin berat pula ujian yang harus dihadapinya.


          Adapun dalil-dalil yang berkaitan dengan ilmu wahbi, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:


وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ


Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.


          Dalam hadis Nabi : 


مَنْ عَمِلَ بِمَا يَعْلَمُ أَوْرَثَهُ اللَّهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ


Barang siapa mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui.


          Dapat kita ketahui bahwa syarat untuk memperoleh ilmu wahbi adalah dengan bertakwa kepada Allah dan mengamalkan ilmu yang dimiliki. Pada zaman dahulu, para ulama dibagi menjadi dua kategori: ulama dzohir dan ulama batin, dan keduanya sangat dibutuhkan oleh umat. Ulama dzohir diperlukan untuk memberikan fatwa, menjelaskan hukum, dan urusan-urusan lainnya, sedangkan ulama batin diperlukan untuk membersihkan hati dan mengantarkan seseorang lebih dekat kepada Allah. Ulama dzohir tidak pernah lepas dari ulama batin, pasti di antara mereka ada guru-guru dari golongan ulama batin.


          Ilmu wahbi biasanya diperoleh oleh seorang wali secara langsung dan singkat (tidak secara rinci). Oleh karena itu, orang yang memiliki keistimewaan ini biasanya menyiapkan pena dan kertas untuk menulis apa yang telah diturunkan kepadanya melalui ilmu ladunni. Jika tidak ditulis segera, ilmu tersebut bisa hilang. Ilmu ladunni ini dapat digambarkan seperti gunung yang jelas terlihat, tetapi lama kelamaan bisa memudar seperti unta. Oleh karena itu, ilmu tersebut harus segera ditulis. Seorang wali biasanya menulisnya atau memiliki murid yang ditugaskan untuk menulisnya.


          Sebagai contoh, Syeikh Ibn Ujaibah, yang mensyarah kitab Hikam, dalam kitab yang berjudul Iqodul Imam, mengatakan, "Syarah Hikam yang saya tulis ini sama sekali tidak berasal dari usaha saya sendiri. Saya hanya menulis kata-kata Hikmah dari Ibn Atthillah, lalu saya merasa tidak tahu apa yang harus ditulis lagi. Maka saya meminta kepada Allah, jika ini memang datang dari-Nya, saya akan menulisnya. Setelah saya menulis, saya merasa tidak yakin dengan tesis ilmiah saya, sehingga saya memeriksa di kitab-kitab ulama sufi. Jika tidak sesuai, saya tinggalkan."


          Banyak wali yang mendapatkan ilmu langsung dari Allah, namun mereka tetap menyesuaikan dengan ilmu yang telah disampaikan oleh ulama-ulama terdahulu dan selalu berpedoman pada syariat. Mereka tidak merasa bahwa ilmu yang mereka terima adalah segalanya. Mereka tidak mengikuti hawa nafsu, karena Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin berkata, "Manusia yang paling dungu adalah yang paling percaya kepada akalnya sendiri, dan manusia yang paling berakal adalah yang paling curiga terhadap akalnya sendiri serta sering bertanya kepada ulama."


          Namun, zaman sekarang berbeda. Banyak yang merasa bahwa tidak membutuhkan ulama itu dianggap berakal, sementara yang sering bertanya dianggap kurang berakal.


          Oleh karena itu, dalam hal ibadah atau apa pun, sangat penting untuk bertanya kepada ulama. Kita khawatir apa yang kita anggap benar, ternyata salah. Akan lebih baik jika kita bermusyawarah dengan ulama mengenai baik atau tidaknya tindakan yang akan kita lakukan. Para wali yang menerima ilmu ladunni pun selalu menyesuaikannya dengan syariat dan sunnah yang telah diajarkan oleh ulama-ulama terdahulu.


          Ar-Ru'ain pernah berkata, "Hakikat yang benar adalah yang sesuai dengan ilmu." Abu Bakar Ad-Daqqoq juga pernah berkata, "Pernah terlintas di hatiku bahwa ilmu hakikat itu berbeda dengan syariat." Tiba-tiba ada yang datang dan berkata, "Wahai Abu Bakar, setiap hakikat yang bertentangan dengan syariat, maka itu adalah kekufuran."


          Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu menuntut ilmu dengan hati yang bersih dan tidak terjebak pada pemahaman yang hanya bergantung pada akal semata. Dengan menjadikan ulama sebagai sumber rujukan, kita dapat memastikan bahwa ilmu yang kita peroleh tetap berada pada jalur yang benar, mengarah pada kebaikan dunia dan akhirat. Semoga kita semua diberikan ilmu yang bermanfaat dan dapat mengamalkannya dengan ikhlas, serta selalu berpegang teguh pada syariat Allah. Aamiin.



Wallahu a'lam bi Asshawab.

Mudah-mudahan bermanfaat.  https://t.me/darulihya

                                                    https://wa.me/c/6283141552774

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages