Ulasan Pengajian Syarah Al-Hikam
Hari/ Tanggal : Jum'at, tanggal 18 Jumadil Akhir 1446 H - 20 Desember 2024 M
Oleh : Al Habib Abdul Qodir bin Abuya Ahmad bin Husein Assegaf
لَا يَزِيدُ فِي عِزِّهِ إِقْبَالُ مَنْ أَقْبَلَ عَلَيْهِ، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ عِزِّهِ إِدْبَارُ مَنْ أَدْبَرَ عَنْهُ
Kemuliaan Allah tidak bertambah karena seorang hamba menghadap kepada-Nya, dan tidak pula berkurang karena seseorang berpaling dari-Nya.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, ketaatan yang kita lakukan tidak memberikan manfaat apa pun bagi Allah, begitu pula maksiat yang kita lakukan tidak merugikan-Nya. Perintah-perintah Allah hanya untuk kebaikan kita sendiri, sementara Allah tetap Maha Kuasa dan tidak membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya.
Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah berfirman:
"Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang pertama dari kalian hingga yang terakhir, baik manusia maupun jin, seluruhnya memiliki hati yang paling bertakwa, itu tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang pertama dari kalian hingga yang terakhir, baik manusia maupun jin, seluruhnya memiliki hati seperti hati orang yang paling jahat, itu pun tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang yang pertama dari kalian hingga orang yang terakhir dari kalian, baik dari golongan manusia maupun jin, berdiri di satu tempat, lalu mereka meminta kepada-Ku dan Aku kabulkan permintaan setiap orang di antara mereka, itu tidak akan mengurangi apa yang Aku miliki kecuali seperti berkurangnya air laut karena jarum yang dicelupkan ke dalamnya.
Ketika Allah tidak mengabulkan permintaan seorang hamba di dunia, itu bukan karena Allah kikir atau takut berkurang kekuasaan-Nya. Sebaliknya, hal itu demi kebaikan hamba tersebut, sesuai dengan hikmah dan kasih sayang-Nya. Allah melihat kondisi setiap hamba-Nya dengan bijaksana. Jika seseorang tidak diberi kekayaan harta, mungkin Allah telah menganugerahinya kesehatan jasmani dan rohani, atau rezeki lain yang lebih sesuai untuknya.
Sesungguhnya, setiap hamba Allah telah diberi kekayaan masing-masing, meski bentuknya berbeda-beda. Ada yang kaya hati, kaya ilmu, kaya akhlak, kaya ibadah, atau kaya harta. Bukti bahwa setiap rezeki itu istimewa adalah tidak ada seorang pun yang rela menukarkannya. Misalnya, seseorang yang kaya ilmu tidak akan mau menukar ilmunya dengan uang jika itu membuatnya menjadi bodoh dan kehilangan pemahaman yang dimilikinya.
Imam Ali pernah ditanya, “Wahai Sayyidina Ali, mengapa orang yang pintar rata-rata miskin?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya kepandaian seseorang itu sudah terhitung sebagai rezekinya." Artinya, kepandaian adalah kekayaan berupa ilmu yang sangat berharga.
Oleh karena itu, mintalah kepada Allah dengan cara yang diajarkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, karena Beliaulah yang paling memahami kebutuhan seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat. Jangan merasa lebih tahu tentang apa yang terbaik untuk diri sendiri dibanding Allah. Jika salah dalam berdoa, hasilnya bisa tidak sesuai dengan harapan.
Dalam sebuah riwayat, ada seorang sahabat yang menderita sakit parah hingga tubuhnya kurus kering dan tak kunjung sembuh. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya, beliau mencurigai adanya sesuatu yang tidak biasa. Nabi bertanya, “Apakah kau pernah berdoa dengan cara yang tidak semestinya?” Sahabat itu menjawab, “Ya Rasulullah, beberapa minggu lalu aku berdoa, ‘Ya Allah, azab yang telah Kau persiapkan untukku di akhirat, percepatlah di dunia.’” Akibatnya, azab itu benar-benar diturunkan hingga dirinya tak sanggup menanggungnya.
Maka dari itu, hendaknya kita selalu berhusnuzan (berprasangka baik) kepada Allah. Allah tidak memberi bukan karena tidak mampu atau tidak mau memberi, tetapi karena Allah memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya.
Sebagaimana kelanjutan dari Hadis Qudsi:
"Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya amal perbuatan kalian adalah untuk diri kalian sendiri. Aku hanya akan mencatatnya bagi kalian, kemudian Aku akan membalasnya. Barang siapa yang mendapati kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah. Dan barang siapa yang mendapati selain itu, maka janganlah ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri."
Kata hikmah berikutnya, Syekh Ibnu Atha'illah berkata:
وُصُولُكَ إِلَى اللَّهِ وُصُولُكَ إِلَى الْعِلْمِ بِهِ وَإِلَّا فَجَلَّ رَبُّنَا أَنْ يَتَّصِلَ بِهِ شَيْءٌ أَوْ يَتَّصِلَ هُوَ بِشَيْءٍ
Sampainya kau kepada Allah, maksudnya adalah sampainya kau kepada ilmu yakin, yaitu kesempurnaan ma'rifatmu. Jika tidak demikian, maka Maha Suci Allah disambung dengan sesuatu atau bersambung dengan sesuatu.
Sering disebut dalam ungkapan para sufi atau wali mengenai "sampai kepada Allah." Namun, kata-kata sufi ini terkadang sulit dipahami sehingga ada orang yang salah memaknainya. Perjalanan menuju Allah maksudnya adalah ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah. Adapun sampai kepada Allah, apakah itu berarti sampai di suatu titik untuk bertemu Allah? Yang dimaksud adalah sampai kepada ilmu yakin atau kesempurnaan ma'rifat.
Setiap orang memiliki jalan yang berbeda-beda untuk mencapai Allah. Ada yang menempuh perjalanan panjang, ada yang singkat, ada yang dengan mujahadah, ada yang tanpa mujahadah, ada pula yang dengan bimbingan seorang guru, dan ada yang tidak. Maka, tingkatan para wali pun berbeda-beda. Jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang abadi, umur dunia ini sangat pendek. Bahkan, ketika seorang wali meyakini bahwa perjalanannya telah selesai, ternyata masih ada derajat yang lebih tinggi lagi yang bisa dicapai.
Kemudian, sampai kepada Allah juga berarti seseorang meyakini bahwa dirinya melihat Allah atau selalu dilihat oleh Allah. Ia merasa seolah-olah melihat Allah, atau setidaknya yakin bahwa Allah selalu melihatnya. Sebagaimana hadis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
اعْبُدِ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"Kau beribadah kepada Allah seakan-akan kau melihat-Nya. Jika kau belum bisa demikian, maka sesungguhnya Allah selalu melihatmu."
Jangan membayangkan bahwa sampai kepada Allah berarti bertemu atau melihat Allah secara langsung di dunia, karena itu tidak mungkin. Melihat Allah secara nyata hanya dijanjikan di akhirat bagi orang-orang beriman. Hal ini bergantung pada amal perbuatan mereka selama di dunia. Dan kita harus meyakini bahwa melihat Allah di surga kelak bukanlah kenikmatan yang mengurangi nikmat lain di surga, tetapi justru menambah kesempurnaan kenikmatan yang terdapat di surga.
Maka dari itu, segala kebaikan dan ketaatan yang kita lakukan hanya untuk kemaslahatan diri kita sendiri, sedangkan Allah tetap Maha Kuasa, tidak berkurang karena maksiat dan tidak bertambah karena ketaatan makhluk-Nya.
Wallahu a'lam bi Asshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar