MAKNA DAN HIKMAH UZLAH

MAKNA DAN HIKMAH UZLAH

Share This



Ulasan Pengajian kitab Ihya' Ulumiddin

Hari/ Tanggal : Kamis, tanggal 17 Jumadil Akhir 1446 H - 19 Desember 2024 M
Oleh  : Habib Ali Uraidhi bin Abuya Ahmad bin Husein Assegaf

          Imam Al-Ghazali mengupas makna uzlah, yaitu sikap menjauhkan diri dari urusan-urusan yang berkaitan dengan manusia. Uzlah adalah perilaku yang sering dilakukan oleh para wali Allah. Dalam uzlah terkandung mujahadah (usaha bersungguh-sungguh), sehingga mencapai tujuan melalui uzlah adalah sesuatu yang sulit.

          Makna uzlah mencakup meninggalkan interaksi dengan manusia dalam hal-hal yang tidak mendesak. Uzlah dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik harian, bulanan, tahunan, maupun seumur hidup. Misalnya, ada orang yang beruzlah dari masa menuntut ilmu hingga akhir hayatnya. Semua kategori ini sangat baik untuk manusia, tergantung pada situasi dan kebutuhan.

          Beruzlah, atau menjauh dari keramaian untuk fokus pada ibadah dan refleksi diri, sebaiknya dilakukan dengan mengurangi gangguan. Jika seseorang tetap ditemani dengan ponsel, bisa jadi mengurangi tujuan utama uzlah, karena ponsel dapat menjadi sumber gangguan, seperti mengganggu konsentrasi, dan mengalihkan perhatian dari tujuan spiritual. Idealnya, beruzlah dilakukan dengan menjaga jarak dari hal-hal duniawi, termasuk perangkat elektronik.

          Sebagai contoh, Habib Ahmad bin Husein Assegaf sempat menjalani uzlah di masa mudanya. Beliau sering berada di kamar untuk mempelajari dan muthala’ah (menelaah) pelajaran. Ayahnya, Habib Husein, bahkan menegur beliau agar tidak terus-menerus berada di kamar. Begitu pula dengan Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, yang dikenal sering melakukan uzlah. Dan banyak lagi wali Allah yang menjalani uzlah hingga akhir hayat mereka.

          Contoh lainnya adalah Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Syahab (Ainut Tarim), yang memiliki karakter seperti kakeknya, Habib Alwi bin Syahab. Keduanya dikenal dermawan, membantu anak yatim, janda, dan orang-orang yang membutuhkan. Dan di akhir hayatnya, Habib Alwi memilih untuk menjalani uzlah. Begitu juga dengan Habib Abdullah bin Syahab, yang mana juga memilih untuk menjalani uzlah, pernah beliau berkata, “Saya tidak pernah keluar kota tarim sejak kecil hingga akhir hayat.”

          Sufyan bin ‘Uyainah menceritakan bahwa Sufyan ats-Tsauri pernah berpesan kepadanya, baik semasa hidup maupun setelah wafat dalam mimpinya: “Hindarilah terlalu banyak mengenal orang, karena melepaskan diri dari mereka itu sulit. Aku hampir tidak pernah menemukan hal yang aku benci kecuali berasal dari orang yang aku kenal.” Pesan ini menunjukkan bahwa mengenal terlalu banyak orang sering kali membawa masalah baru.

         Uzlah dan tidak uzlah memiliki keuntungan masing-masing. Perdebatan antara keduanya mirip dengan perdebatan tentang cadar. Memakai kerudung biasa itu baik, sementara memakai cadar lebih baik lagi. Demikian pula, uzlah itu baik, tetapi orang yang tidak menjalani uzlah pun bisa tetap baik, meskipun resiko berinteraksi dengan banyak orang lebih besar.

          Habib Abdullah bin Husein bin Thohir berkata, “Pada zaman sekarang, lebih baik diam, lebih baik beruzlah di rumah, dan lebih baik ridha dengan apa yang ada.” Habib Abdurrahman Assegaf, yang dikenal sebagai Faqih Muqaddam Tsani, pernah tinggal di sekitar makam Nabi Hud ‘Alaihissalam. Di sana, beliau menjalani uzlah, membangun masjid kecil yang cukup untuk empat orang saja, dan menghabiskan waktu dengan beribadah serta mengkhatamkan Al-Qur’an siang dan malam.

          Malik bin Dinar juga dikenal sebagai sosok yang suka menyendiri. Seseorang pernah mendatanginya dan melihat seekor anjing meletakkan dagunya di atas lutut Malik bin Dinar. Ketika orang itu ingin mengusir anjing tersebut, Malik bin Dinar berkata, “Biarkan dia, wahai saudaraku. Dia tidak berbahaya dan tidak menyakitiku. Bahkan, dia lebih baik daripada teman yang buruk.”

          Seseorang pernah ditanya, “Apa yang membuatmu memilih untuk menjauhi orang-orang?” Dia menjawab, “Aku khawatir agamaku akan tercabut tanpa aku menyadarinya.” Hal ini menunjukkan bahwa akhlak buruk dari teman yang tidak baik dapat memengaruhi seseorang secara perlahan.

         Imam Al-Ghazali juga menyoroti bahaya pertemanan yang buruk, karena hal tersebut dapat memengaruhi hidup dan agama seseorang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang itu mengikuti agama (keyakinan) kawannya. Maka, hendaklah salah seorang di antara kalian memperhatikan dengan siapa dia berkawan.”
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

          Ada pula syair yang berbunyi: “Jika kamu ingin mengetahui seseorang, jangan tanya pribadinya, tetapi tanyakan tentang teman-temannya. Sebab, jika sudah berteman, itu berarti mereka berada pada frekuensi yang sama.” Imam Al-Ghazali juga mengajarkan bahwa untuk menjaga anak, salah satu cara adalah dengan memperhatikan siapa yang menjadi temannya.

          Maka dari itu, uzlah adalah pilihan yang penuh hikmah, namun membutuhkan kebijaksanaan dalam pelaksanaannya. Dengan niat yang tulus dan usaha yang sungguh-sungguh, uzlah dapat menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjaga keimanan dari pengaruh-pengaruh yang merugikan. Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk istiqamah dalam menjaga hati, menjauhkan diri dari perkara yang sia-sia, dan selalu mendekat kepada-Nya. Amiin.

Wallahu a'lam bi Asshawab.

Mudah-mudahan bermanfaat.  https://t.me/darulihya

                                                    https://wa.me/c/6283141552774

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages