KETELADANAN RASULULLAH

KETELADANAN RASULULLAH

Share This

 


Ulasan Pengajian Tajrid Shohih Bukhori
Hari/ Tanggal : Kamis, tanggal 16 Rajab 1446 H - 16 Januari 2025 M
Oleh  : Al Habib Abdul Qodir bin Abuya Ahmad bin Husein Assegaf


       Memasuki bab tentang jihad, terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Jundab bin Sufyan radhiyallahu 'anhu, yang berbunyi:

عَنْ جُنْدَبِ بْنِ سُفْيَانَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي بَعْضِ المَشَاهِدِ وَقَدْ دَمِيَتْ إِصْبَعُهُ ، فَقَالَ : هَلْ أَنْتِ إِلَّا إِصْبَعٌ دَمِيتِ, وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا لَقِيتِ

"Dari Jundub bin Sufyan, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu peperangan mengalami luka pada salah satu jarinya. Maka beliau bersabda: "Bukankah engkau ini hanyalah jari yang terluka? Luka ini terjadi di jalan Allah."

          Hadis ini mengandung banyak pelajaran berharga. Salah satunya adalah bahwa apabila seseorang mengalami luka atau musibah, hendaknya hal tersebut tidak dijadikan beban berat yang membebani hati, terlebih jika itu terjadi dalam upaya berjuang di jalan Allah.

          Selain itu, perlu dipahami bahwa saat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan kalimat tersebut, itu bukanlah bentuk syair. Ucapan itu muncul secara spontan dari mulut beliau dengan kata-kata yang tersusun rapi. Nabi juga melarang para sahabatnya untuk memaksakan membuat kata-kata indah secara berlebihan atau berusaha bersajak, terlebih jika itu tidak sesuai dengan kemampuan seseorang. Sebagaimana firman Allah:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah: 286)

          Ada pula pertanyaan yang muncul: "Mengapa seorang Nabi bisa terluka, padahal beliau memiliki penjagaan khusus dari Allah?"

          Pertanyaan ini dijawab oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari, syarah Shahih Bukhari. Beliau mengatakan bahwa para Nabi terkadang mengalami musibah berupa luka-luka atau penyakit. Hal ini bertujuan agar pahala mereka semakin besar dan derajat mereka semakin tinggi di surga.

          Imam Al-Ghazali juga memberikan penjelasan. Beliau mengatakan bahwa kasih sayang Allah kepada para Nabi dapat diibaratkan seperti seorang ayah yang tegas terhadap anaknya. Tegasnya seorang ayah bukan berarti tidak sayang, tetapi justru menunjukkan bentuk kasih sayang yang mendalam. Begitu juga Allah kepada para Nabi-Nya. Allah menjauhkan mereka dari kenikmatan dunia yang berlebihan agar ada hikmah besar di baliknya.

          Jika para Nabi tidak pernah diuji dengan musibah, dari siapa umat ini akan belajar? Justru melalui musibah yang dialami para Nabi, umat dapat mengambil pelajaran berharga. Dengan mengetahui bahwa para Nabi menghadapi cobaan yang berat, umat terdorong untuk bersabar dalam menghadapi ujian hidup. Musibah yang menimpa Nabi memberikan pelajaran yang dapat meringankan beban hati para pengikutnya dan menguatkan mereka dalam menjalani kehidupan.

          Memasuki hadis selanjutnya yang diriwayatkan oleh Sayyidina Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu, yang berbunyi:

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ: أنَّ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم رَكِبَ علَى حِمَارٍ علَى إِكَافٍ عَلَيْهِ قَطِيفَةٌ، وأَرْدَفَ أُسَامَةَ ورَاءَهُ

"Dari Usamah bin Zaid, ia berkata: "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menaiki seekor keledai yang diberi pelana, di atasnya terdapat kain yang berwarna merah, dan beliau mengajak Usamah untuk duduk di belakangnya."

          Faidah yang dapat diambil dari hadis ini adalah bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menolak untuk mengendarai kendaraan yang ada, menunjukkan sikap tawadhu (rendah hati) beliau. Beliau juga menunjukkan kerendahan hati dengan memboncengkan sahabatnya, yang merupakan sesuatu yang jarang dilakukan oleh seorang raja atau pejabat.

          Pelajaran lain yang dapat diambil adalah bahwa kita diperbolehkan membonceng orang lain dalam kendaraan kita, asalkan kendaraan tersebut mampu menampungnya.

          Selain itu, hadis ini mengajarkan bahwa sifat tawadhu Nabi Muhammad terlihat dalam kebiasaan beliau untuk makan bersama sahabat-sahabatnya, tanpa ingin diperlakukan istimewa. Beliau ingin diperlakukan setara dengan sahabatnya. Namun, penting untuk membedakan antara sikap tawadhu seorang guru dan murid. Seorang guru harus tetap tawadhu, tetapi murid juga memiliki kewajiban untuk menghormati dan mengistimewakan gurunya.

Wallahu a'lam bi Asshawab.

Mudah-mudahan bermanfaat.  https://t.me/darulihya

                                                    https://wa.me/c/6283141552774

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages