RAHASIA KEHARMONISAN KEPADA SESAMA MUSLIM

RAHASIA KEHARMONISAN KEPADA SESAMA MUSLIM

Share This




Ulasan Pengajian kitab Ihya' Ulumiddin

Hari/ Tanggal : Kamis, tanggal 12 Muharram 1446 H - 18 Juli 2024 M
Oleh  : Al Habib Abdul Qodir bin Abuya Ahmad bin Husein Assegaf


          Salah satu adab kita sesama Muslim adalah bergaul dengan orang lain dengan akhlak yang baik dan memperlakukan mereka sesuai dengan latar belakang masing-masing. Orang yang beriman seharusnya mudah berbaur dengan orang lain.


          Sebagai contoh, jika kita bertemu dengan seseorang yang tidak berilmu, kita sebaiknya tidak menonjolkan ilmu kita. Hal ini bisa mengganggu orang tersebut, karena mereka mungkin merasa terpojokkan. Kecuali jika orang yang tidak berilmu tersebut bertanya tentang ilmu, barulah kita boleh berbagi pengetahuan.


          Jika kita tetap memaksakan untuk menonjolkan ilmu, maka kedua belah pihak akan merasa tidak nyaman. Begitu juga dengan seseorang yang tidak bisa membaca (buta huruf) atau menulis, jangan dipaksakan dengan membahas masalah ilmu Fiqih. Jika ia menolak, ia dianggap bodoh, dan jika ia menerimanya, ia akan merasa malu karena tidak memiliki pengetahuan tersebut.


          Sebaliknya, jika kita benar-benar menghormati orang tersebut, kita tidak akan menawarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan bidang mereka. Setiap orang memiliki bidang keahlian yang berbeda-beda. Jangan menawarkan seseorang untuk membaca kitab atau menulis dengan tulisan yang bagus jika bidangnya bukan di situ. Mungkin saja, keahliannya adalah dalam berceramah, memimpin tahlilan, khutbah atau berpidato, dan lain-lain. Itulah mengapa kita seharusnya mencari spesialisasi orang yang bisa membaca kitab sesuai dengan keahliannya. Begitu juga, jika kita berinteraksi dengan orang yang tidak pandai dengan keterampilan bahasa yang tinggi, hal itu hanya akan menyakiti orang tersebut dan menyebabkan ketidaknyamanan pada kedua belah pihak.


          Seperti dikisahkan, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki pernah memiliki seorang murid yang berbicara dengannya menggunakan bahasa fushah (bahasa Arab baku) di luar konteks pelajaran. Padahal, di lingkungan tersebut lebih sering digunakan bahasa amiya (bahasa daerah). Akhirnya, Sayyid Muhammad menegur muridnya: "Wahai muridku, janganlah kau berbicara dengan bahasa sahabat." Meskipun Sayyid Muhammad mampu berbahasa fushah, beliau memilih untuk menyesuaikan bahasa dengan lingkungan sekitarnya.


          Dari situ, kita bisa mengambil pelajaran bahwa ketika kita berkumpul dengan orang-orang yang menggunakan bahasa sederhana, kita juga harus menggunakan bahasa yang sederhana. Jika mereka berbicara dengan bahasa resmi, kita pun harus menyesuaikan dengan bahasa resmi. Inilah pentingnya menyesuaikan cara bicara kita dengan lingkungan sekitar.


          Dahulu, ada seorang ulama bernama Syeikh Al-Imam Sya'rawi. Ketika beliau berceramah di Mesir, suasana langsung hening karena semua orang mendengarkan dengan khusyuk. Beliau memiliki kemampuan untuk menyesuaikan bahasa dengan audiensnya, beliau bisa menggunakan bahasa resmi untuk pejabat dan bahasa daerah untuk masyarakat umum. Kemampuan menyesuaikan bahasa ini mencerminkan akhlak yang mulia.


         Begitu juga, kita harus bisa menyesuaikan diri ketika bertemu dengan orang awam, ulama, dan ahli ibadah. Sebagaimana ada pepatah yang mengatakan, "jika yang datang ke rumahmu adalah orang miskin, segerakanlah menyuguhkan makanan kepadanya. Jangan fokus pada pembicaraan terlebih dahulu, tetapi berikan makanan karena perutnya mungkin lapar."


          Ada kisah tentang sahabat Abu Hurairah yang menghadang Sayyidina Abu Bakar untuk menanyakan tafsiran suatu ayat. Sayyidina Abu Bakar menjawab pertanyaan tersebut. Dan ketika Abu Hurairah bertanya lagi tentang tafsiran itu kepada Sayyidina Umar. Sayyidina Umar menjawabnya. Namun, ketika Abu Hurairah menanyakan hal yang sama kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, Nabi langsung mengajaknya ke rumah untuk menyuguhkan makanan. Dari situ, kita bisa mengambil pelajaran dari akhlak Nabi, yaitu harus peka terhadap kebutuhan orang lain dan tidak bersikap acuh tak acuh.


          Beda halnya jika yang datang adalah seorang ahli fikih atau ahli ilmu, yang akan menyenangkan hatinya adalah jika ia ditanya tentang ilmunya. Jadi, kita sebaiknya menyambut ahli ilmu tersebut dengan pertanyaan seputar ilmu. Namun, hendaknya jangan hanya bertanya saja, usahakan juga menyuguhkan makanan. Intinya, jangan biarkan ilmunya tidak dikeluarkan, ajukan pertanyaan supaya ilmunya dapat memberi manfaat kepada kita. Sebab, sebenarnya, seorang ahli ilmu menunggu pertanyaan terkait ilmu tersebut.


          Seorang Imam pernah berkata: "Jika seseorang masuk ke suatu daerah di mana di dalamnya tidak ada pembahasan tentang ilmu, maka daerah itu mati dalam hal ilmu."


          Begitu juga, jika tamunya adalah orang ahli ibadah maka tunjukan pada dirinya arah kiblat, karena menunjukkan arah kiblat kepada seorang ahli ibadah adalah bentuk penghormatan dan perhatian terhadap kebutuhan mereka, terutama dalam konteks ibadah.


          Termasuk adab adalah menghormati para ulama dan menyayangi anak-anak. Sayyidina Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيْرَنَا وَلَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا

"Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua kami dan tidak menyayangi yang muda di antara kami."


          Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda: 

مِنْ إِجْلاَلِ الله إِكْرَامُ ذِي الشَّيْبَةِ المُسْلِم

"Termasuk penghormatan kepada Allah adalah memuliakan seorang Muslim yang telah beruban (tua)."


          Salah satu bentuk penghormatan kepada para ulama adalah tidak berbicara di hadapan mereka kecuali dengan izin. Sayyidina Jabir  meriwayatkan bahwa ketika rombongan dari suku Juhainah datang kepada Nabi, seorang pemuda berdiri untuk berbicara, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 

ُمَهْ فَأَيْنَ الكَبِيْر

"Diamlah, mana orang yang lebih tua?"


          Dikatakan dalam sebuah hadis: 

 ُوَمَا وَقَّرَ شَابٌّ شَيْخًا إِلاَّ قَيَّضَ الله لَهُ فِي سِنِّهِ مَنْ يُوَقِّرُه 

"Tidaklah seorang pemuda menghormati seorang yang lebih tua, kecuali Allah akan menyiapkan baginya di usia tuanya seseorang yang menghormatinya."


          Ini adalah kabar gembira tentang panjang umur, maka perhatikanlah hal ini. Tidaklah seseorang diberi taufik untuk menghormati para ulama kecuali Allah telah menetapkan baginya umur yang panjang.


          Termasuk akhlak Nabi kepada anak-anak adalah, ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sering didatangi oleh orang yang membawa anak kecil agar beliau mendoakan keberkahan dan memberinya nama. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan mengambil anak tersebut dan meletakkannya di pangkuannya. Kadang-kadang, anak tersebut kencing di pangkuan beliau. Ketika orang-orang melihatnya seketika langsung panik dan sebagian mereka ada yang berteriak, karena anak tersebut kencing di pangkuan Nabi. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Jangan membuat anak kecil ini terkejut, tunggu sampai anak itu selesai kencing." Beliau membiarkannya hingga selesai kencing, kemudian menyelesaikan doa dan pemberian nama, serta menyenangkan keluarganya agar mereka tidak merasa bahwa beliau terganggu dengan kencing anak tersebut. Setelah mereka pergi, beliau mencuci pakaian beliau.


          Kesimpulannya, akhlak yang baik dalam pergaulan sesama Muslim menuntut kita untuk memahami dan menghormati latar belakang, kebutuhan, dan kondisi orang lain. Seperti yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para ulama terdahulu, menyesuaikan cara kita berbicara, bersikap, dan berinteraksi dengan orang lain adalah kunci dalam menjaga keharmonisan dan menghormati satu sama lain.




Wallahu a'lam bi Asshawab.

Mudah-mudahan bermanfaat.  https://t.me/darulihya

                                                    https://wa.me/c/6283141552774

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages